![]() |
Lima Majid Tertua Jakarta: (1). Masjid ?Si Pitung? Al Alam, Marunda, Jakarta Utara (1527), (2). Masjid Al-Alam Cilincing (1527), (3). Masjid Jami? As-Salafiyah, Masjid Pangeran Jayakarta (1620), (4). Masjid Jami? Al Atiq, Kampung Melayu, Jakarta Selatan (1632), (5). Masjid Al Anshor Pekojan, Jakarta Barat (1648).
Tulisan ini sengaja kami posting pada bulan Juni menjadi bagian berdasarkan upaya menolak lupa pada sejarah. Di bulan Juni setiap tahun, Provinsi DKI Jakarta merayakan hari jadinya yg di hitung sejak penaklukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah berdasarkan Portugis & menandai berdirinya Jayakarta menjadi sebuah Kesultanan & kini dijadikan menjadi hari jadi nya DKI Jakarta.
J
akarta, selaku ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempunyai sederet masjid masjid tua & bersejarah, sebagian besar masih berdiri & difungsikan hingga hari ini. Keberadaan masjid pada daerah Jakarta telah sebagai bagian integral dari sejarah perjalanan kota Jakarta. Artikel ini akan menyajikan ulasan tentang masjid masjid tua di Jakarta sejak masa awal (Kesultanan) Jayakarta hingga masa awal Kemerdekaan Republik Indonesia.
Seiring dengan ditetapkannya lepas 22 Juni 1527 menjadi titik awal berdirinya kota Jakarta, maka dapat disebut bahwa sejarah kota Jakarta dimulai dalam lepas 22 Juni 1527 tadi. Di awali menggunakan kemenangan Fatahillah atau Falatehan atau Fadhilah khan memimpin pasukan campuran Demak & Cirebon dibantu oleh pasukan Banten mengalahkan dan mengusir Portugis yg bersekutu menggunakan Pajajaran menurut Sunda Kelapa.
Fatahillah adalah panglima pasukan Demak pada masa pemerintahan Sultan Trenggono. Sultan Trenggono memerintahkan dia buat menggabungkan pasukannya menggunakan pasukan dari Kesultanan Cirebon dibawah pemerintahan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Penyerbuan tadi juga dibantu oleh Pasukan berdasarkan Banten dibawah pimpinan Maulana Hasanuddin (Putra Sunan Gunung Jati).
![]() |
Masjid “Si Pitung” Al Alam, Marunda, Jakarta Utara |
1. Masjid Al-Alam Marunda (1527)
Saat penyerbuan ke Sunda Kelapa tahun 1527 tersebut, Fatahillah bersama pasukannya sempat mendirikan sebuah masjid kecil di kawasan Marunda, Jakarta Utara, sebagai tempat mereka beribadah. Masjid tua berukuran kecil itu bernama Masjid Al Alam. Meski ukurannya tidak terlalu besar, masjid berarsitektur tradisional ini cukup kokoh dengan tiang tiang beton antik berukuran besar dan tembok yang cukup tebal. Di tahun 1975 pemerintah provinsi DKI Jakarta menetapkan Masjid Al Alam sebagai Cagar Budaya. Bila melihat tahun pembangunannya, Masjid Al Alam ini merupakan masjid tertua di Jakarta.
Kisah kata menyebutkan bahwa pembangunan masjid ini jua dibantu oleh para wali yang mempunyai karomah yg mempunyai karomah yg tinggi. Kisah ini memang cukup lumrah lantaran Sunan Gunung Jati sendiri merupakan keliru satu tokoh Wali Songo, dan sejarah Nasional kita pun mencatat bahwa berdirinya kesultanan Demak & Kesultanan Cirebon nir lepas berdasarkan peran Wali Songo.
![]() |
Masjid Al-Alam Cilincing |
2. Masjid Al-Alam Cilincing (1527)
Masjid ini mungkin tidak setenar "kembaranya" Masjid Al Alam Marunda yg lebih dikenal dengan nama masjid si pitung, namun masjid yang juga didirikan oleh fatahillah waktu akan merebut sunda kelapa menurut Portugis ini sangat akbar nilainya bagi sejarah jakarta dan indonesia. Kini masjid ini sehari hari dikelola oleh ?Yayasan Masjid Al-Alam Cilincing Jakarta Utara?. Untuk menyelamatkan tempat bersejarah ini, dalam 1972 dilakukan perbaikan masjid oleh Dinas Museum & Sejarah DKI Jakarta, waktu masih dipimpin Gubernur Ali Sadikin, & bangunan ini telah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya.
Berdasarkan versi sejarah Dinas purbakala DKI Jakarta, masjid ini dibangun pada 22 Juni 1527, persis sama dengan HUT kota Jakarta. Menjadikannya sebagai masjid tertua yang ada di jakarta bersama dengan masjid Al-Alam Marunda yang dibangun ditahun dan oleh orang yang sama. Letaknya berada di jalan rekreasi cilincing Jakarta utara, tepatnya di sebelah pasar ikan cilincing atau 18 Km dari pusat Kota Jakarta.
Fatahillah dan pasukannya berhasil menaklukkan Sunda Kelapa pada lepas 22 Juni 1257. Beliau kemudian membarui nama Bandar tersebut berdasarkan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang bermakna Kota Kejayaan. Dia memegang eksklusif tampuk pemerintahan pada Jayakarta, namun kemudian dia menetapkan balik ke Cirebon buat berdakwah dan memenuhi permintaan Sunan Gunung Jati buat memperluas daerah kesultanan Cirebon ke wilayah sekitarnya.
Jabatan pemerintahan pada Jayakarta diserahkan Oleh Fatahillah pada Ki Bagus Angke atau Ratu Bagus Angke atau Pangeran Tubagus Angke yang pula menantunya. Dan disaat yg hampir bersamaan Maulana Hasanuddin dinobatkan menjadi Sultan Pertama di Kesultanan Banten. Kekuasaan atas Jayakarta kemudian diteruskan sang Pangeran Jayakarta Wijayakrama, dalam tahun 1596 menggantikan Tubagus Angke yang sudah berusia lanjut.
Masjid Agung Kesultanan Jayakarta, Tak Berbekas
Di masa kekuasaan Pangeran Jayakarta ini, Belanda sudah mulai menancapkan kukunya pada Jayakarta hingga menyebabkan ketegangan diantara keduanya, hingga lalu memuncak menjadi pertempuran terbuka tahun 1610. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Jenderal Jan Pieter Coen nir mampu menghadapi pasukan Jayakarta yang dibantu sang pasukan Banten & Inggris sampai ahirnya melarikan diri ke markas akbar V.O.C di Ambon.
![]() |
Masjid Jami’ As-Salafiyah Jatinegara Kaum dari arah Makam Pangeran Jayakarta |
Dalam agresi ke 2 kalinya pada tahun 1619, J.P. Coen berhasil mengalahkah pasukan Jayakarta dan membumihanguskan kota itu sampai tak bersisa, dan mengganti nama Jayakarta dengan Batavia pada 12 Maret 1619. Sisa sisa kejayaan Jayakarta sebagai sebuah entitas kekuasaan yang pernah berkuasa pada daerah Jakarta selama lebih kurang 92 tahun (22 Juni 1527 hingga 12 Maret 1619), nyaris tak berbekas.
Bangunan keraton & Masjid Agung-nya pun hanya tinggal cerita, keliru satunya timbul di catatan penulis Belanda, Adolf Heuken S.J, mengungkapkan bahwa beberapa puluh meter di sebelah selatan hotel Omni Batavia sekarang ini yang terletak pada jalan Kali Besar & Jalan Roa Malaka Utara, Jakarta utara, pernah berdiri bangunan masjid tertua pada Jakarta, tetapi bangunan masjid tadi telah tidak bersisa. Diperkirakan masjid yang dimaksud merupakan masjid Agung Kesultanan Jayakarta yang dibumihanguskan sang Belanda beserta dengan Keraton Jayakarta.
Penghancuran total Bandar Jayakarta oleh Pasukan J.P.Coen tidak tanggal menurut upaya nya buat mengikis habis pamor Kesultanan Jayakarta berdasarkan wilayah tadi, termasuk menghapus segala sesuatu yg berbau kesultanan dan Islam, terbukti menggunakan kebijakannya selesainya berkuasa beliau mengeluarkan embargo pembangunan masjid di dalam wilayah kota Batavia.
Tiga. Masjid Jami? As-Salafiyah Jatinegara Kaum (1620)
Paska keruntuhan Bandar Jayakarta, Pangeran Jayakarta bersama keluarga dan pengikut setianya menyingkir ke wilayah Jatinegara Kaum (Klender, Jakarta Timur). Disana beliau mendirikan kawasan baru, menyusun strategi dan terus menerus melakukan perlawan terhadap penjajahan Belanda. Di Jatinegara Kaum beliau membangun masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Jami’ As-Salafiyah pada tahun tahun 1620.
Sepanjang hidupnya setelah kehilangan kekuasaan, Pangeran Jayakarta beserta pengikutnya tak pernah berhenti melakukan perlawanan terdahap penjajahan Belanda, sampai beliau wafat di-usia tua dan dimakamkan di dekat masjid yang beliau bangun bersama pengikutnya. Masjid Jami’ As-Salafiyah hingga kini ramai dikunjungi oleh para Jemaah begitu-pun dengan makam beliau.
![]() |
Jejak Sejarah Putra Pangeran Jayakarta di Kabupaten Bekasi. Kiri ; Masjid Al-Mujahidin Cibarusah pertama kali dibangun oleh Pangeran Senapati. Kanan: Rumah kediaman Raden Rangga di Cikarang Barat, kini dikenal dengan Saung Ranggon atau Rumah Tinggi. |
Antara Jayakarta & Cibarusah
Masih di tahun 1619 Pangeran Jayakarta memerintahkan putra mahkota beliau, Pangeran Senapati, menyingkir dari Jayakarta untuk melanjutkan perjuangan dan syi’ar Islam. Pangeran Senapati meninggalkan Jayakarta melalui jalur laut dan berlabuh di pantai utara Bekasi kemudian melanjutkan perjalanan darat hingga ahirnya tiba di wilayah yang kini dikenal dengan nama Cibarusah di kabupaten Bekasi berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sama seperti ayahandanya, Pangeran Senapati pun membangun Masjid Masjid di tempat baru tersebut yang kini dikenal dengan nama Masjid Al-Mujahidin Cibarusah.
Sementara Putra Pangeran Jayakarta yg lain bernama Raden Rangga menyingkir melalui jalur darat hingga ke daerah Cikarang Barat, kabupaten Bekasi. Rumah kediaman beliau selama tinggal disana sekarang dikenal menggunakan nama Saung Ranggon atau Rumah Tinggi & ditetapkan menjadi Situs Cagar Budaya oleh Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan nilai Tradisional, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, provinsi Jawa Barat. Rumah anjung sederhana berbahan kayu tersebut masih terawat sampai sekarang & dianggap sebut sebagai bangunan tertua di Kabupaten Bekasi.
Perlawanan rakyat terhadap penjajahan Belanda di Batavia tak pernah usai di berbagai sektor, salah satu tokoh perlawanan masyarakat Betawi yang sangat melegenda adalah Si Pitung. Tokoh legenda ini kerap kali menghabiskan waktunya berdiam diri berlama lama di Masjid Al Alam yang merupakan peninggalan Fatahillah, pendiri Jayakarta yang sudah berubah nama menjadi Batavia itu.
Di masjid ini juga Si Pitung kerap kali bersembunyi dari kejaran pasukan Kompeni Belanda, legenda masyarakat menyebutkan bahwa Si Pitung seakan tak terlihat oleh Pasukan Belanda saat bersembunyi di masjid ini, itu sebabnya dikemudian hari Masjid Al-Alam yang dibangun oleh Fatahillah itu juga disebut sebagai Masjid S i Pitung.
![]() |
Masjid Jami’ Al Atiq, Kampung Melayu, Jakarta Selatan |
4. Masjid Jami’ Al Atiq Kampung Melayu (1632), Jakarta Selatan
Perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Batavia juga dilakukan oleh Maulana Hasanuddin, Sultan pertama di Kesultanan Banten yang juga merupakan putra pertama Sunan Gunung Jati (Cirebon). Di masa kekuasaannya (1552-1570) Maulana Hasanuddin sempat mengirimkan pasukannya menyerbu Batavia. Induk pasukannya yang bermarkas di daerah Kampung Melayu.
Di kampung Melayu Pasukan Maulana Hasanuddin mendirikan sebuah Mushola buat keperluan mereka beribadah. Mushola yang kemudian diklaim sebagai Masjid Kandang Kuda karena berada pada perkampungan tukang Sado, kemudian berubah menjadi Masjid Jami? Kampung Melayu. Sejauh ini tidak ditemukan bukti otentik terkait tahun awal pembangunan masjid ini selain menurut kisah ungkap rakyat setempat. Nama masjid ini lalu di ubah menjadi Masjid Al-Atiq pada tahun 1970-an oleh Pak Ali Sadikin, Guburnur DKI Jakarta saat itu,
5. Masjid Al - Anshor Pekojan (1648) Jakarta Barat
Pelarangan pembangunan masjid pada wilayah kota Batavia nir di indahkan sang muslim pendatang yang asal menurut Hadramaut (Yaman) & Gujarat (india) yg sang Penjajah Belanda pada generalisir menjadi orang Moor. Penyebutan Moor bagi Muslim pendatang pada Batavia oleh Belanda ini menyiratkan syok masa kemudian bangsa Eropa terhadap Islam. Moor adalah Suku bangsa Muslim pada Benua Afrika bagian utara (sekarang Maroko & Sekitarnya).
![]() |
Masjid Al Anshor Pekojan, Jakarta Barat |
Bangsa Moor ini pada bawah pimpinan Tarikh Bin Ziyad pada abad ketujuh menyerbu & menaklukkan Eropa barat (Spanyol dan sebagian Prancis) dan lalu mendirikan Emperium Islam Andalusia yg berpusat di Istana Alhambra di Cordoba (Spanyol). Berawal menurut sejarah tersebut, Bangsa bangsa pada Eropa Barat men-jeneralisir Muslim sebagai orang Moor termasuk menyebut Muslim di Kesultanan Sulu (sekarang di Philiphina Selatan) menjadi orang orang Moor yang dikemudian hari dan sampai sekarang dikenal dengan sebutan Bangsa Moro.
Muslim India dan Hadramaut ini sebelumnya tinggal pada Banten lalu menjalankan bisnis mereka di kota Batavia yang sang Belanda dijadikan Ibukota pada tanah Jajahannya yang diklaim Hindia Belanda.Di tahun 1648, atau sekitar 29 tahun setelah bedirinya Batavia Muslim India yg tinggal di daerah Pekojan (kecamatan Tambora, Jakarta Barat) mendirikan Masjid Al-Anshor di Jalan Pengukiran.
Kawasan Pekojan kala itu adalah tempat hunian muslim berdasarkan India. Kata ?Koja? Dalam istilah ?Pekojan? Sendiri asal berdasarkan istilah "Khojadanquot;, daerah pada India asal para pedagang tersebut. Kata ?Koja? Di duga jua diduga berasal menurut kain tenun yang biasa dipakai buat ikat ketua oleh orang-orang Banten. Dan bagaimanapun, seperti disebutkan tadi, muslim India pada Pekojan ini sebelumnya merupakan mukimin di Wilayah Banten sebelum lalu pindah ke Batavia. (kontiniu ke bagian 2)
Baca Detil Artikelnya
Masjid ?Si Pitung? Al Alam, Marunda, Jakarta Utara
Masjid Jami? As-Salafiyah, Masjid Pangeran Jayakarta