Seperti halnya sejumlah daerah lain di Indonesia yang menyimpan sejarah peradaban agama-agama dunia, Provinsi Seribu Pulau, Maluku juga menyimpan peninggalan sejarah Islam yang masih ada & tidak lekat dimakan zaman. Di utara Pulau Ambon, tepatnya di Negeri (desa) Kaitetu Kecamatan, Leihitu Kabupaten, Maluku Tengah, berdiri Masjid Tua Wapauwe. Umurnya mencapai tujuh abad. Masjid ini dibangun tahun 1414 Masehi. Masih berdiri kokoh dan sebagai bukti sejarah Islam masa lampau.
Untuk mencapai Negeri Kaitetu dimana Masjid Tua Wapauwe berada, berdasarkan pusat Kota Ambon kita mampu menggunakan transportasi darat dengan menempuh ketika satu jam bepergian. Bertolak menurut Kota Ambon ke arah timur menuju Negeri Passo. Di simpang tiga Passo membelok ke arah kiri melintasi jembatan, menuju arah utara dan melewati pegunungan hijau dengan jalan berbelok serta menanjak. Sepanjang perjalanan kita mampu menikmati pemandangan alam pegunungan, dengan sisi jalan yg terkadang memperlihatkan jurang, tebing, atau hamparan flora cengkih & pala hijau menyejukkan mata.
Sebelum mencapai Kaitetu, kita terlebih dahulu bertemu Negeri Hitu, yang terletak sekitar 22 kilometer dari
KONSTRUKSI PELEPAH SAGU
Masjid yg masih dipertahankan dalam arsitektur aslinya ini, berdiri di atas sebidang tanah yg sang warga setempat diberi nama Teon Samaiha. Letaknya pada antara pemukiman penduduk Kaitetu pada bentuk yang sangat sederhana. Konstruksinya berdinding gaba-gaba (pelepah sagu yang kemarau) & beratapkan daun rumbia tersebut, masih berfungsi dengan baik sebagai loka ber-shalat Jumat maupun shalat lima ketika, kendati sudah ada masjid baru di desa itu.
Bangunan induk Masjid Wapauwe hanya berukuran 10 x 10 meter, sedangkan bangunan tambahan yang merupakan serambi ukuran 6,35 x 4,75 meter. Typologi bangunannya berbentuk empat bujur sangkar. Bangunan orisinil pada ketika pendiriannya nir memiliki serambi. Meskipun kecil & sederhana, masjid ini memiliki beberapa keunikan yang jarang dimiliki masjid lainnya, yaitu konstruksi bangunan induk dirancang tanpa memakai paku atau pasak kayu dalam setiap sambungan kayu.
Hal lainnya yang bernilai sejarah menurut masjid tadi yakni tersimpan dengan baiknya Mushaf Alquran yg konon termasuk tertua di Indonesia. Yang tertua merupakan Mushaf Imam Muhammad Arikulapessy yg terselesaikan ditulis (tangan) dalam tahun 1550 & tanpa iluminasi (hiasan pinggir). Sedangkan Mushaf lainnya merupakan Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis dalam tahun 1590, & juga tanpa iluminasi serta ditulis tangan pada kertas produk Eropa.
Imam Muhammad Arikulapessy merupakan imam pertama Masjid Wapauwe. Sedangkan Nur Cahya merupakan cucu Imam Muhammad Arikulapessy. Mushaf output ke 2 orang ini pernah dipamerkan di Festival Istiqlal pada Jakarta, tahun 1991 dan 1995.
Selain Alquran, karya Nur Cahya lainnya merupakan: Kitab Barzanzi atau syair puji-kebanggaan kepada Nabi Muhammad SAW, sekumpulan naskah khotbah seperti Naskah Khutbah Jumat Pertama Ramadhan 1661 M, Kalender Islam tahun 1407 M, sebuah falaqiah (peninggalan) serta manuskrip Islam lain yang sudah berumur ratusan tahun.
Kesemuanya peninggalan sejarah tersebut, ketika ini merupakan pusaka Marga Hatuwe yg masih tersimpan menggunakan baik pada tempat tinggal pusaka Hatuwe yg dirawat sang Abdul Rachim Hatuwe, Keturunan XII Imam Muhammad Arikulapessy. Jarak antara tempat tinggal pusaka Hatuwe dengan Masjid Wapauwe hanya 50 meter.
RENOVASI
Masjid ini direnovasi pertama kali sang pendirinya, Jamilu dalam tahun 1464, tanpa merubah bentuk aslinya. Meski pernah mengalami dua kali pemindahan, bangunan inti masjid ini tetap asli. Bangunan ini mengalami renovasi ke 2 kali dalam tahun 1895 menggunakan penambahan serambi di depan atau bagian timur masjid.
Masjid berkali-kali mengalami renovasi sekunder setelah masa kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1959, atap masjid mulai memakai semen PC yang sebelumnya masih berkerikil. Setelah itu terjadi 2 kali renovasi akbar-besaran, yaitu pada Desember 1990-Januari 1991 menggunakan pergantian 12 butir tiang menjadi kolom penunjang dan balok penopang atap. Pada tahun 1993 dilakukan pergantian balok penadah kasau dan bumbungan, menggunakan tidak mengganti empat buah tiang sebagai kolom primer.
Pada tahun 1997, atap masjid yang semula memakai seng diganti dengan bahan (semula) dari nipah. Atap nipah diganti setiap 5 tahun sekali. Meski pernah direnovasi berkali-kali, masjid ini permanen orisinil karena nir merubah bentuk inti masjid sama sekali. Sehingga, dapat dikatakan bahwa masjid ini sebagai masjid tertua di tanah air yang masih terpelihara keasliannya hingga sekarang. Maret 2008 lalu, Masjid ini direnovasi kembali. Struktur atap yang terbuat menurut pelepah sagu diganti yang baru.
WARISAN SEJARAH
Bukan suatu kebetulan, Masjid Wapauwe berada di wilayah yg mengandung banyak peninggalan purbakala. Sekitar 150 meter berdasarkan masjid ke arah utara, pada tepi jalan raya masih ada sebuah gereja tua peninggalan Portugis & Belanda. Kini gereja itu telah musnah akibat konflik kepercayaan yang meletus pada Ambon tahun 1999 lalu. Selain itu, 50 meter berdasarkan gereja ke utara, berdiri dengan kokoh sebuah benteng tua "New Amsterdamdanquot;. Benteng peninggalan Belanda yang mulanya merupakan loji Portugis. Benteng New Amsterdam terletak pada bibir pantai ini dan sebagai saksi sejarah perlawanan para pejuang Tanah Hitu melalui Perang Wawane (1634-1643) serta Perang Kapahaha (1643-1646).
"Masjid ini mempunyai nilai historis arkeologis yang penting. Didalamnya terpancar budaya masa lalu sehingga perlu kita lestarikan," kata Pejabat Negeri Kaitetu, Yamin Lumaela, pada tempat tinggal Raja Negeri Kaitetu. Lumalea berharap, eksistensi Masjid Wapauwe beserta beberapa peninggalan sejarah Islam lainnya yg telah tua, sanggup menjadi keliru satu daerah atau daerah tujuan wisata pada Kepulauan Maluku.
"Sebelum kerusuhan banyak wisatawan yg tiba kemari. Kondisinya berubah ketika pertarungan. Sekarang pengunjungnya sangat kurang," ungkapnya. Berdirinya Masjid Wapauwe pada Negeri Kaitetu nir terlepas dari hikayat perjalanan para mubaligh Islam yang tiba berdasarkan Timur Tengah membawa karakteristik khas kebudayaannya ke dalam tatanan kehidupan warga yang mendiami bagian utara Pulau Ambon, yakni jazirah Hitu yg dikenal dengan sebutan Tanah Hitu. Ciri spesial ini kemudian melahirkan satu peradaban yg bernuansa Islam dan masih bertahan dilingkungan masyarakat setempat hingga ketika ini misalnya, budaya kesenian (hadrat), perkawinan, & khitanan.
Mulanya Masjid ini bernama Masjid Wawane karena dibangun di Lereng Gunung Wawane oleh Pernada Jamilu, keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Kedatangan Perdana Jamilu ke tanah Hitu kurang lebih tahun 1400 M, yakni buat menyebarkan ajaran Islam dalam 5 negeri di lebih kurang pegunungan Wawane yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala & Nukuhaly, yang sebelumnya sudah dibawa sang mubaligh dari negeri Arab.
Masjid ini mengalami perpindahan loka dampak gangguan dari Belanda yg menginjakkan kakinya di Tanah Hitu pada tahun 1580 selesainya Portugis pada tahun 1512. Sebelum pecah Perang Wawane tahun 1634, Belanda telah mengganggu kedamaian penduduk lima kampung yg sudah menganut ajaran Islam pada kehidupan mereka sehari-hari. Merasa tidak kondusif menggunakan ulah Belanda, Masjid Wawane dipindahkan dalam tahun 1614 ke Kampung Tehala yang berjarak 6 kilometer sebelah timur Wawane. Kondisi loka pertama masjid ini berada yakni di Lereng Gunung Wawane, dan kini ini telah menyerupai kuburan.
Dan apabila ada daun berdasarkan pepohonan di lebih kurang tempat itu gugur, secara ajaib tidak satupun daun yg jatuh diatasnya. Tempat kedua masjid ini berada pada suatu daratan dimana banyak tumbuh pepohonan mangga hutan atau mangga berabu yg dalam bahasa Kaitetu dianggap Wapa. Itulah sebabnya masjid ini diganti namanya dengan sebutan Masjid Wapauwe, ialah masjid yg didirikan pada bawah pohon mangga berabu.
Pada tahun 1646 Belanda akhirnya bisa menguasai seluruh Tanah Hitu. Dalam rangka kebijakan politik ekonominya, Belanda lalu melakukan proses penurunan penduduk menurut daerah pegunungan tidak terkecuali penduduk kelima negeri tersebut. Proses pemindahan 5 negeri ini terjadi pada tahun 1664, dan tahun itulah ditetapkan lalu menjadi tahun berdirinya Negeri Kaitetu.
PINDAH SECARA GAIB
Menurut cerita rakyat setempat, dikisahkan waktu masyarakat Tehala, Atetu dan Nukuhaly turun ke pesisir pantai dan bergabung sebagai negeri Kaitetu, Masjid Wapauwe masih berada pada dataran Tehala. Namun pada suatu pagi, ketika warga bangun dari tidurnya masjid secara mistik telah berada pada tengah-tengah pemukiman penduduk pada tanah Teon Samaiha, lengkap dengan segala kelengkapannya. "Menurut kepercayaan kami (masyarakat Kaitetu, red) masjid ini berpindah secara gaib. Lantaran dari cerita orang tua-tua kami, waktu masyarakat bangun pagi ternyata masjid sudah terdapat," istilah Ain Nukuhaly, masyarakat Kaitetu. Sementara itu, kondisi Mushaf Nur Cahya beserta manuskrip tua lainnya tampak terawat meskipun telah mengalami sedikit kerusakan misalnya berlobang mini , sebagian seratnya terbuka dan tinta yang pecah dampak udara lembab.
Menurut Rahman Hatuwe, pakar waris Mushaf Nur Cahya, kerusakan tersebut dampak faktor kertasnya yang sudah tua, debu, kelembaban udara serta insek (hewan) kertas. Dia menambahkan, pihaknya pernah mendapat obat serbuk (nir disebutkan namanya) buat menjaga keawetan manuskrip-manuskrip tua ini, hanya saja obat tersebut sudah habis.
"Alquran Nur Cahya ini masih kentara, & ketika-waktu tertentu aku masih sering membaca (ayat-ayat kudus Alquran dari Mushaf ini, red) misalnya dalam ketika Ramadan sekarang ini," kata Rahman yang adalah keturunan VIII Imam Muhammad Arikulapessy.
Sumber :Detiknews.com