Masjid Langgar Tinggi, Pekojan – Jakarta Utara - Islami Pedia
News Update
Loading...

Tuesday, September 22, 2020

Masjid Langgar Tinggi, Pekojan – Jakarta Utara

Masjid Langgar Tinggi di Pekojan Jakarta, Dibangun di atas tanah

wakaf Syarifah Mas’ad Barik B’alwi, di renovasi oleh Said Naum.

Dari luar bangunan ini sama sekali tak tampak seperti bangunan

masjid. Papan nama ini satu satunya petunjuk bila bangunan

ini adalah sebuah masjid (foto daripencakarlangit.blogspot.com)

Langgar dalam bahasa melayu sama dengan Surau atau Mushola. Masjid Langgar Tinggi yang dibahas disini merujuk kepada masjid tua yang terletak antara Jalan Pekojan di seberang kali Angke, Jakarta Utara. Letaknya tak jauh dari beberapa masjid yang dibangun pada abad ke 17 di Pekojan, Jakarta Utara. Sebutan Langgar Tinggi memang sedikit membingunkan bagi orang melayu karena menggabungkan antara Masjid dengan Surau sekaligus. Namun mungkin karena memang awalnya adalah sebuah langgar maka hingga kini disebut Masjid tanpa menghilangkan kata Langgar dari namanya.

Masjid Langgar Tinggi masuk sebagai daftar bangunan Masjid tua warisan sejarah Kota Jakarta yang dilindungi. Portal Resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa Masjid kuno ini dibangun pada tahun 1249H bertepatan dengan tahun 1829M. pertama kali dibangun oleh seorang muslim dari Yaman bernama Abu Bakar diatas tanah wakaf dari Syarifah Mas’ad Barik Ba’alwi. Bangunan tersebut lalu diperluas oleh Said Naum. Masjid Langgar Tinggi ini tak jauh dari Masjid Jami’ Annawier, Pekojan yang juga merupakan salah satu Masjid tua di Jakarta,

Lokasi Masjid Langgar Tinggi, Pekojan – Jakarta

Masjid Langgar Tinggi

Jl. Pekojan Raya No. 43 Kel. Pekojan

Kec. Tambora, Jakarta Barat

Jakarta 11240 INDONESIA

View Langgar Tinggi - Pekojan in a larger map

Sejarah Masjid Langgar Tinggi, Pekojan – Jakarta

Kali Angke di abad ke 19 merupakan jalur perdangan dan transportasi utama di kota Batavia. Salah satu dari saudagar yang hilir mudik di sungai ini kala itu adalah saudagar Muslim arab asal Yaman bernama Abubakar Shihab yang kemudian membangun sebuah langgar berlantai dua di tepian kali Angke pada tahun 1249 Hijirah bertepatan dengan tahun 1829M yang kemudian disebut sebagai Langgar Tinggi. Disebutkan bahwa langgar tinggi dibangun  di atas tanah wakaf dari Syarifah Mas’ad Barik Ba’alwi. (Adolf Heuken SJ dalam bukunya, Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 2003)

Langgar Tinggi dibangun dengan luas lantai dasarnya 8 meter x 24 meter. Lantai atas digunakan sebagai masjid. Sebagian lantai bawah digunakan sebagai penginapan para pedagang yang mondar-mandir dengan perahu dan rakit. Termasuk penginapan untuk para kolega Abubakar Shihab dari luar kota. Sebagian lagi dijadikan tempat tinggal pengurus masjid. Kini, seluruh lantai bawah digunakan untuk toko perangkat shalat, termasuk tasbih, buku-buku agama, serta minyak wangi khas Timur Tengah dan India. Ada minyak misik, minyak buhur, sampai minyak ular.

Langgar Tinggi tahun 2011 lalu, masih terkonservasi dengan baik
Dahulu banyak perahu dan rakit dari Tangerang menyusur Kali Cisadane masuk Kali Angke membawa bahan bangunan, kain, rempah-rempah, duren, nangka, dan kelapa, menuju pusat kota lama. Sebelum masuk kota, perahu dan rakit-rakit itu biasanya sandar di belakang langgar. Ketika itu Kali Angke masih bersih dan dalam. Kepengurusan Masjid Langgar TInggi ini yang kemudian dilanjutkan oleh keturunan beliau. Saat ini diketuai oleh Ahmad Assegaff Bin Alwi bin Abdurrahman, bin Segaff, bin Husain, bin Abu Bakar.

Pada bulan November tahun 1833 Langgar Tinggi diperluas oleh Syekh Said Naum. Said Naum adalah seorang Kapitan Arab untuk wilayah Pekojan yang juga saudagar muslim kaya raya dari Palembang. Ia juga memiliki sejumlah armada kapal dan menjadi tuan tanah. Banyak tanahnya yang diwakafkan untuk masjid di Batavia. Semasa hidupnya juga menghibahkan sebidang tanah cukup luas untuk pemakaman umum muslim. Kini di atas tanah wakaf beliau berdiri sebuah Masjid Said Naum yang dibangun di era pemerintahan Ali Sadikin menjadi gubernur DKI. Masjid yang karena arsitekturnya memperoleh penghargaan dari Aga Khan Award.

Foto lama masjid Langgar Tinggi (tak diketahui tahunnya) sangat jelas

menunjukkan letak mihrab masjid di lantai dua

Menilik siapa yang membangun masjid Langgar Tinggi yang berasal dari Palembang, menjadi tidak aneh bila kemudian beliau membangun sebuah langgar berlantai dua di tapian kali Angke. Bangunan berlantai dua di tepian atau bahkan di atas sungai sekalipun merupakan hal yang biasa bagi masyarakat Palembang. Dan sebutan Langgar untuk mushola memang bahasa asli masyarakat Palembang dan wilayah Sumatera bagian selatan. Bangunan atau rumah dengan tipikal seperti ini memang lumrah di kawasan Sumatera. Menjadi lebih menarik karena selain berbentuk rumah panggung bangunan Langar tinggi ini juga menggabungkan berbagai seni bina bangunan.

masjid Langgar Tinggi, khas dengan bentuk bangunannya berlantai

dua dengan sentuhan berbagai seni bina bangunan

(foto:trialv3.blogspot.com)

Tradisi Masjid Langgar Tinggi

Dulu, menurut cerita yang diwariskan para pendahulu pengurus masjid in, ada empat pesta tahunan nan semarak di langgar tinggi. Pertama pesta khitanan bagi anak yatim piatu. Pesta ini diselenggarakan sehabis Lebaran di bulan Sapar. Berikutnya pesta mauludan (Maulid Nabi Muhammad SAW), disusul pesta mikrajan (Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW), dan pesta khatamul Qur’an. Ketika pesta tiba, warga sekitar dari berbagai etnis termasuk Arab, India, Jawa, Bali, China, Muslim dan nonMuslim, bersama-sama mengumpulkan bantuan untuk membiayai hajatan besar itu. "Anak-anak yang dikhitan rata-rata cuma 20-an, tetapi yang datang ke pesta jauh lebih banyak dan meriah. Pesta mauludan adalah pestanya para pria, tak heran bila pestanya pun sampai tengah malam. Di depan langgar di dirikan panggung yang dihias janur, bunga kertas khas Betawi, dan lampion di sana-sini.

Interior msjid Langgar Tinggi

(foto :gedoor.com)

Pesta khatamul Quran anak-anak umumnya berlangsung dua jam. Setelah shalat isya, mereka salawatan atau kasidahan, lalu dilanjutkan tarawih. Setiap delapan rakaat, anak-anak berkasidahan. Berdoa untuk kedua orangtua, membaca fusul, lalu ditutup dengan tadarusan. Hidangannya bubur gandum surba (havermut) bumbu gulai dengan tebaran daging kambing halus yang direbus. Makanan ringannya kurma, rambutan, nangka, duren, dan mangga. Tergantung musim buahnya, tetapi anak-anak umumnya lebih suka nangka dan duren, Minumannya kopi jahe campur susu. masih menurut kepada penuturan para pengurus masjid terdahulu, di luar acara ritual, pesta diikuti orang non-Muslim juga. Ketika tiba pesta Pekcun dan Capgomeh-nya orang China, warga Muslim ikutan berebut terima angpau. Pesta biasanya berlangsung di tepi Kali Angke. Yang Muslim biasanya lebih suka nonton dari lantai dua langgar karena bisa tiduran di langgar.

lebih dekat ke tangga menuju lantai dua

Langgar tinggi tampak pilar pilar kokoh

dengan sentuhan eropa Klasik

(foto :gedoor.com)

Seperti telah disinggung di muka, Langgar Tinggi memiliki unsur arsitektural perpaduan Melayu, Eropa klasik, Thionghoa dan Jawa. Unsur seni bina bangunan melayu tampak pada bentuk rumah panggung, Eropa klasik seperti tampak pada pilar pilar bundarnya yang kokoh, unsur seni bina bangunan China tampak pada penyangga balok-balok kayunya, dan unsure Jawa pada denah dasarnya. Sentuhan budaya melayu juga tampak pada Mimbar masjid diperkirakan berasal dari Palembang.

Said Naum yang berasal dari Palembang sedikit banyak membawa tradisi melayu Sumatera ke dalam reka bentuk dan seni bina Langgar Tinggi bila anda berkesempatan berkunjung ke wilayah Palembang atau bagian Sumatera lainnya, reka bentuk bangunan seperti langgar tinggi ini memang lumrah disana. Beberapa bangunan tua di pinggiran Sungai musi Palembang dapat dengan mudah ditemukan bangunan seperti ini baik dalam bentuk asli melayu ataupun bangunan dengan perpaduan beragam budaya seperti Langgar Tinggi.

Bangunan masjid Langgar Tinggi ini terdiri dari dua lantai, lantai atas dipakai sebagai masjid sedangkan lantai bawah nya kini seluruhnya dipergunakan sebagai ruang toko. Lokasinya yang berada di tepi jalan raya menjadikannya cukup strategis untuk digunakan sebagai area perdagangan. Di dekat Langgar Tinggi terdapat sebuah jembatan kecil yang dinamai Jembatan Kambing. Dinamakan demikian, karena sebelum dibawa untuk disembelih di pejagalan (sekarang bernama Jalan Pejagalan), kambing harus melewati jembatan yang melintasi Kali Angke ini terlebih dahulu. Para pedagang di sini telah berdagang secara turun-temurun selama hampir 200 tahun.

Kios Pedagang di Lantai dasar Langgar Tinggi (foto :gedoor.com)
Kompilasi foto Langgar Tinggi daripencakarlangit.blogspot.com
Papan nama Masjid Langgar Tinggi (diaskinanthi)
Referensi

Strada.or.id  - Langgar Tinggi & Masjid Tertua di Jakarta

Silatbeksi.blogspot.com – peradaban islam di pekojan

berita.liputan6.com - langgar-tinggi-masih-asli-sejak-1829

diaskinanthi.blogspot.com - ngabuburit-ke-kampung-arab-harian-jalan

jakarta.go.id - Bangunan-Langgar-Tinggi-Pekojan-Masjid-Pekojan

gedoor.com - masjid-langgar-tinggi

--------------------------------ooOOOoo--------------------------------

Baca Juga Artikel Masjid Masjid Jakarta Lain-nya

Masjid Jami’ Al Atiq, Kampung Melayu – Jakarta Selatan

Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke - Jakarta

Masjid Jami’ Al-Riyadh Kwitang, Jakarta

Masjid Al-Ma’mur Tanah Abang, Jakarta

Masjid Jami’ Al-Makmur Sawah Lio, Jakarta

Masjid Jami Cikini Al-Ma’mur - Jakarta

Masjid Jami’ Annawier, Pekojan

Masjid Cut Meutia, Jakarta

Masjid Hidayatullah – Setiabudi, Jakarta

Masjid Luar Batang, Penjaringan, Jakarta

Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta

Masjid “Si Pitung” Al Alam – Marunda, Jakarta

Lautze, Masjid Ruko dengan Ornamen Klenteng

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done