![]() |
Diantara Ruko dan sarang walet. Masjid Raya Sultan Akhmadsyah dibangun tahun 1886, jauh lebih tua dibandingkan dengan Masjid Raya Al-Mahsun di Kota Medan (1909) maupun Masjid Raya Sulaimaniyah (1894) di kabupaten Serdang Bedagai. Kini bangunan tua bersejarah ini berhimpitan dengan jejeran pertokoan dan bangunan bangunan beton sarang walet yang menjulang menandingi tingginya menara masjid.
Masjid Raya Sultan Ahmadsyah terletak di jalan Masjid, Kelurahan Indra Sakti, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, Kota Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara. Masjid dibangun pada atas tanah wakaf Kesultanan Asahan menggunakan luas 10.000 meter persegi & luas bangunan 1000 meter persegi. Masjid Raya ini adalah bangunan masjid bersejarah yang telah berumur lebih berdasarkan satu abad, warisan dari kesultanan Asahan yg pernah berjaya di Sumatera Timur. Selesai dibangun tahun 1886 digagas oleh Sultan Akhmadsyah yg namanya pada-abadikan sebagai nama masjid raya ini. Beliau merupakan Sultan Asahan ke sembilan.
Alamat Masjid Raya Sultan Akhmadsyah
Jalan Mesjid, kelurahan Indra Sakti
Kecamatan Tanjungbalai Selatan, Kota Tanjung Balai
Provinsi Sumatera Utara, indonesia
Saksi Sejarah Tragedi Pembantaian pada Sumatera Timur 1946
Penampilan Masjid Raya Sultan Akhmadsyah pada kota Tanjung Balai ini kentara menyiratkan sebuah perjalanan panjang berdasarkan sebuah bangunan masjid yang sebagai saksi bisu sebagian bepergian sejarah kesultanan Asahan & kota Tanjung Balai khususnya. Masjid ini jua menjadi saksi bisu kerusuhan sosial pada bulan Maret tahun 1946, yg meluluhlantakkan kesultanan kesultanan pada daerah Sumatera Timur termasuk Kesultanan Asahan. Di laman masjid ini terdapat satu makam yang merupakan pemakaman massal 73 korban meninggal pada kerusuhan sosial tadi.
Kuburan tadi ditandai dengan batu prasasti berpahatkan 73 nama nama korban penyerbuan & pembantaian yang terjadi di Asahan, bulan Maret 1946. Jasad-jasad yang terdapat di kuburan ini pada mulanya ditemukan pada bentuk tulang belulang yg terserak di Sungai Lendir tahun 2003, sebuah kampung di Asahan, yg buat mencapainya harus memakai perahu atau motor boat. Mereka merupakan para petinggi Kesultanan Melayu Asahan bersama cerdik pandai & warga umum, termasuk 2 orang orang Mandailing bermarga Siregar dan Nasution.
![]() |
Masjid Raya Sultan Akhmadsyah menggunakan gerbangnya. Gerbang ini merupakan bangunan baru begitupun menggunakan satu bangunan menara nya yang lebih tinggi. |
Selain Kuburan tadi, pada page masjid ini jua masih ada makam para Sultan Asahan & kerabatnya serta kuburan kuburan keluarga imam dan nazir masjid. Kuburan kuburan tersebut rata homogen dilengkapi menggunakan batu nisan berdasarkan batu pualam yang kebanyakan didatangkan menurut Penang, Malaysia, berpahatkan nama nama para mendiang menggunakan hurup Arab Melayu (Arab Gundul) menggunakan khat yang relatif indah.
Salah satu sultan Asahan yang dimakamkan di halaman masjid ini merupakan Tengku Muhammad Husain Syah yg lahir tiga Dzulhijjah 1278 dan wafat 25 Sya'ban sanah 1333, beberapa nisan bahkan bertuliskan tahun yang lebih tua ratusan tahun dari itu. Saat ini pada pendopo masjid juga masih ada tiga buah meriam peninggalan Kesultanan Asahan. Sultan Asahan lainnya yang dimakamkan pada laman masjid ini adalah Sultan Syaibun Abdul Jalil Rahmadsyah, Sultan terakhir Asahan yg wafat tahun 1980.
Kesultanan Asahan Selayang Pandang
Sejarah Kesultanan Asahan dimulai dengan penobatan Sultan Abdul Jalil sebagai Sultan pertama yang berlangsung meriah disekitar kampung Tanjung pada tanggal 27 Desember 1620. Kesultanan Asahan pernah diperintah oleh delapan orang Sutan yang sejak Sultan Abdul Jalil pada tahun 1620 sampai dengan Sultan Syaibun Abdul Jalil Rahmadsyah yang naik tahta sebagai sultan Asahan di tahun 1933. Kejayaan Kesultanan Asahan berahir kelam di bulan Maret tahun 1946. Tujuh bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan di Jakarta.
|
Mimbar dengan bendera hijau Kesultanan |
Pada Bulan Maret tahun 1946 pecahlah apa yang dinamakan Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang dimotori sang PKI pada sebuah aksi yg disebutnya perlawanan terhadap feodalisme. Kelompok masyarakat bersenjata membantai keluarga Kesultanan Melayu pada Asahan, Kualuh, Langkat, Bilah, dan Kotapinang. Pembantaian serupa juga terjadi di Karo dan Simalungun. Konon pada waktu itu berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang baru berumur tujuh bulan, bahkan belum sampai ke daerah Sumatera Timur, termasuk wilayah Kesultanan Asahan.
Massa yang dimotori PKI melakukan penyerbuan terhadap pihak kesultanan yang berujung pada aksi penjarahan, penghancuran aset aset kesultanan, penculikan dan pembunuhan massal terhadap famili Kesultanan dan para tokoh tokoh nya. Meskipun selamat berdasarkan bencana tahun 1946 tadi, Sultan Syaibun Abdul Jalil Rahmadsyah, simpel sudah kehilangan sebagian besar anggota keluarga dan para petinggi kesultanan yg sebagai korban genosida dan kehilangan aset kesultanan yg sebagai korban perampasan & penghancuran. Beliau wafat pada kota Medan dalam tanggal 17 April 1980 & dimakamkan di kompleks Mesjid Raya Tanjungbalai.
Pembangunan Masjid Raya Sultan Akhmadsyah
Masjid Raya Sultan Ahmadsyah Tanjung Balai mulai dibangun tahun 1884 dan selesai dibangun pada tahun 1886. Penggagas pembangunannya adalah Sultan Ahmadsyah yang bergelar Marhum Maharaja Indrasakti memerintah Kesultanan Asahan mulai tahun 1854 hingga 1888, Sultan Ahmadsyah naik tahta menggantikan ayahanda-nya Sultan Muhammad Hussein Syah (1813-1854). Dari tahun pembangunannya, Masjid Raya Sultan Akhmadsyah ini jauh lebih tua dibandingkan dengan Masjid Raya Al-Mahsun di Kota Medan (1909) maupun Masjid Raya Sulaimaniyah (1894) di kabupaten Serdang Bedagai.
|
Sentuhan Eropa di masjid ini ditandai dengan jejeran pilar pilar besar pada teras masjid. |
Fungsi didirikannya Masjid Raya Sultan Ahmadsyah bukan hanya menjadi sebuah loka ibadah, namun juga merupakan loka strategis bagi pengembangan masyarakat, Selain sebagai loka ritual, masjid juga sebagai sentra tumbuh dan perkembangnya kebudayaan Islam. Di dalamnya dilakukan penyusunan taktik, perencanaan dan aksi di dalam kerangka penyebaran Islam pada tengah kehidupan warga . Selain sebagai kepentingan ritual ibadah keagamaan, pula mempunyai kepentingan politis buat melawan intervensi penjajah.
Arsitektur
Ciri utama dari masjid ini merupakan bangunan Melayu. Hal ini terlihat menurut bentuk bangunannya yg berbentuk persegi panjang seperti kebanyakan bangunan Melayu. Pada pinggir atapnya pula masih ada ciri spesial bangunan Melayu yaitu ukiran pucuk rebung. Keunikan masjid ini merupakan nir terdapat pilar pada bagian pada masjid yg bermakna Allah tidak memerlukan penyangga buat berdiri. Padahal bangunan dasar berdasarkan masjid ini hampir nir memakai semen melainkan pasir dan tanah liat dan batu bata. Keunikan lainnya yaitu kubah masjid tidak terletak pada tengah bangunan melainkan pada bagian depan masjid sehingga bila dicermati dari depan, masjid ini terkesan biasa tetapi menyembunyikan keunikannya.
|
Ruang sholat primer yang lega tanpa tiang tiang penopang pada tengah ruang sholat |
Di dalam masjid terdapat mimbar yang berornamen Cina. Mimbar ini didatangkan langsung oleh Sultan dari Cina. Panji hijau kembar terpancang kokoh di bagian belakang mimbar, seperti kebanyakan di masjid masjid kesultanan lainnya. Di bagian depan mimbar, terpahat kaligrafi dengan gaya khat tsuluts yang amat indah. Kaligrafi ini bertuliskan dua bait syair yang berisi ajaran tentang rukun khutbah Jum'at dalam mazhab imam Syafi'i. Dua bait syair itu kira-kira bermakna:
Rukun khutbah Jum'at dari imam-imam kita
Seluruh terdapat lima, ketahulah wahai sidang Jumat yang mulia
Yaitu membacan pujian, kemudian sholawat & berwasiat takwa
Lalu membaca ayat, dan doa sebagai penutup khutbah kita
Selain itu jua ada tangga putar untuk naik ke menara masjid yg terletak tepat pada belakang mimbar. Bangunan utama Masjid Raya Sultan Ahmadsyah belum pernah direnovasi. Namun bangunan pendukungnya poly yang diganti maupun ditambah. Seperti loka wudhu? Yang berbentuk qullah dan dapur masjid diganti menggunakan pendopo. Sedangkan gerbang dan menara utamanya dibangun kemudian sehingga masjid ini memiliki dua menara.
Aktivitas Masjid Raya Sultan Akhmadsyah
Fungsi Masjid Raya Ahmadsyah saat ini adalah menjadi loka ibadah warga muslim Tanjung Balai. Selain itu, pada Masjid Raya Ahmadsyah juga dilakukan pengajian-pengajian mingguan, pengajian bulan ramadhan, pengajian remaja masjid dan pengajian anak-anak. Masjid Raya Ahmadsyah juga berfungsi menjadi loka latihan manasiq haji dan tempat sosial kemasyarakatan misalnya mutilasi fauna kurban dan khitanan massal serta penyolatan jenazah.
Sejarah Singkat Kota Tanjung Balai
Sebelum kemerdekaan, Kota Tanjung Balai merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Asahan (1620 – 1946). Statusnya sebagai kotapraja di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia disyahkan melalui UU No. 1 Tahun 1957. Namun demikian peringatan hari jadi Kota Tanjung Balai diperingati setiap tanggal 27 Desember, didasarkan kepada sejarah penobatan Sultan Pertama Kesultanan Asahan pada tanggal 27 Desember 1620. Penetapan hari jadi tersebut disyahkan melalui keputusan DPRD Kota Tanjungbalai Nomor 4/DPRD/TB/1986 Tanggal 25 November 1986.
|
Kuburan masal korban Tragedi pada Bulan Maret 1946. |
Di masa penjajahan Belanda, Kota Tanjungbalai berstatus sebagai Gementee berdasarkan Besluit G.G. tanggal 27 Juni 1917 dengan Stbl.1917 No. 284. Sebagai kota pelabuhan dan berstatus sebagai Gementee, Kota Tanjung Balai menjadi tempat kedudukan bagi Assisten Resident dan Ketua Dewan (Voorzitter van den Gemeen-teraad). Tanjung Balai juga menjadi tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan. Kota ini menjadi kota bandar yang sangat penting bagi Belanda terlebih dengan dibukanya perkebunan-perkebunan di derah Sumatera Timur termasuk daerah Asahan seperti H.A.P.M., SIPEF dan lain-lain, menjadikan Tanjungbalai sebagai kota pelabuhan dan pintu masuk ke daerah Asahan.
Dengan telah berfungsinya jembatan Kisaran dan dibangunnya jalan kereta api Medan – Tanjungbalai, maka hasil-hasil dari perkebunan dapat lebih lancar disalurkan atau diekspor melalui kota pelabuhan Tanjungbalai. Untuk memperlancar kegiatan perkebunan, maskapai-maskapai Belanda membuka kantor dagangnya di kota Tanjungbalai antara lain: kantor K.P.M., Borsumeij dan lain-lain, maka pada abad XX mulailah penduduk bangsa Eropa tinggal menetap di kotaTanjungbalai.
Setelah proklamasi kemerdekaan, berahir juga kekuasaan politik Asahan menjadi sebuah kesultanan ditambah lagi dengan kerusuhan sosial pada tahun 1946. Di tahun 1956 Pemerintah Republik Indonesia mengerluarkan Undang-Undang Darurat No. 9 Tahun 1956 lalu di-umumkan pada Lembaran Negara angka 60 tahun 1956 nama Hamintee Tanjungbalai diganti menjadi Kota Kecil Tanjungbalai. Kemudian jabatan Walikota Tanjung Balai dipisahkan dari Bupati Asahan menurut Surat Mentri Dalam Negeri No. UP 15/dua/tiga lepas 18 September 1956. Selanjutnya menggunakan UU No. 1 Tahun 1957 nama Kota Kecil Tanjungbalai diganti sebagai Kotapraja Tanjungbalai.
Walikota Termuda 2016
Walikota Tanjung Balai memegang rekor menjadi Walikota termuda pada Indonesia. Adalah Muhammad Syahrial, Walikota Tanjungbalai yang dilantik di Lapangan Merdeka Medan pada hari Rabu 17 Februari 2016, ternyata masih berumur 26 tahun. Dengan usia tadi, Syahrial didaulat sebagai Wali Kota termuda pada Indonesia. Muhammad Syahrial dilantik sebagai Walikota Tanjung Balai bersama dengan 14 Kepala Daerah Se-Sumut lainnya oleh Plt Gubernur Sumatera Utara, T Erry Nuradi, menjadi hasil dari Pilkada serentak di provinsi Sumatera Utara tahun 2016.***
Referensi
poskotanews.com - walikota-tanjung-balai-termuda-di-indonesia-usia-26-tahun
Gpswisataindonesia – masjid raya sultan ahmadsyah tanjung balai
armansyah.my.id - Saksi Sejarah Tragedi Pembantaian pada Sumatera Timur 1946
Related post