Potret Kearifan Lokal Masjid Mali - Islami Pedia
News Update
Loading...

Friday, June 19, 2020

Potret Kearifan Lokal Masjid Mali

Di pelosok Republik Mali (pada Afrika Barat) masjid lumpur & tanah liat lokal ukuran mini merupakan pemandangan menakjubkan, khususnya bagi pecinta arsitektur. Mereka layaknya jaringan hayati yg tersisa menurut arsitektur kuno.

Tipe arsitektur vernakuler tersebut rupanya masih sporadis didokumentasikan. Meskipun banyak yang menyoroti & mengangkat budaya Sudan, seperti UNESCO, dan beberapa pembuat film & kitab dokumenter, namun masih jarang yang menyentuh masjid-masjid lokal lumpur agak coklat tanpa nama pada desa-desa negara itu. Bahkan nir juga turis, yg kadang melewati masjid-masjid mini itu, sebelum melihat keindahan arsitektur masjid di Djenne dan Timbuktu.

Seorang murid fotografi asal Eropa, Sebastian Schutyser, menemukan estetika & kesederhanaan masjid-masjid lumpur lokal tersebut waktu melakukan bepergian menggunakan sepeda keliling Sudan (sekarang Mali) selama 1996 hingga 1997. Mengetahui benar kurangnya dokumentasi terhadap arsitektur membumi itu, dia pun menetapkan buat melakukan proyek fotografi mendalam.

Ia melakukan informasi lapangan terhadap masjid khususnya pada Delta Pedalaman Niger. Area ini adalah pelabuhan bagi sejumlah besar masjid-masjid lokal--sekurangnya pada dua.300 desa--dengan desain berbagai rupa. Menurut sejarah, area tadi memainkan peranan krusial pada periode awal penyebaran Islam di Afrika Barat, demikan yg ditemukan oleh Sebastian pada riset fotografinya.

Sebastian sendiri melakukan upaya keras lebih berdasarkan sekadar menambah stok perbendaharaan foto. Ia pula berusaha menangkap keaslian serta estetika arsitektur yg dilihat sebelah mata tadi. Dari output jepretannya, dia menemukan setiap masjid memiliki karakternya sendiri, dipengaruhi oleh morfologi & permukaan struktur konstruksi bangunan.

Tipologi Masjid Lumpur Cerminan Kesederhanaan Lokal

Masjid-masjid di Afrika Barat merupakan deretan arsitektur masjid yang dianggap paling sesuai dan berhasil memenuhi standar arsitektur masjid yang diharapkan, terlepas dari sebagian besar tidak didirikan oleh arsitek, melainkan penduduk lokal. Di dalamnya terdapat kiblat yang ditandai oleh mihrab, menara masjid, interior dengan ruang utama  besar di batasi kolom-kolom, dan di saat yang sama, bentuk-bentuk tersebut menjadi penanda kuat era paska-Bizantium, awal kerajaan Islam.

Banyak pengama fotografer menduga hasil karya Sebastian terlalu melebihkan dan menambah tampilan kualitas masjid sesungguhnya pada sana. Terutama dari kesengajaan buat meniadakan insan dalam output jepretannya. Tapi langkah itu membuat orang lebih fokus terhadap material dan bentuk. Dua hal yang membuahkan desain masjid lokal terlihat unik, terutama sangat sinkron menggunakan konteks setempat, iklim gurun yang keras, & budaya masyarakat, tetapi permanen mampu berfungsi misalnya halnya masjid, yakni buat bertemu dan beribadah.

Arsitektur masjid-masjid lumpur tadi memang sangat terkait erat dengan arsitektur masyarakat setempat. Materi-materi yang digunakan mempunyai pertimbangan baik ekonomi dan kecocokan iklim yg luar biasa panas. Tanah liat & lumpur dijadikan semen sekaligus plaster. Keterbatasan kayu serta harganya yg tinggi menciptakan penduduk menggunakan kayu palem sebagai penopang, kuda-kuda, sekaligus atap.

Dinding dibuat tebal dan menipis keatas, cara buat mencegah ruang di dalam sebagai panas plus mendukung struktur 2 lantai, dan atap. Selama siang, dinding tebal itu akan menyerap panas menurut luar, sebagai akibatnya menjaga interior permanen sejuk. Ketika malam, udara panas disimpan dinding merembes ke ruang berakibat udara dalam masjid hangat meski perubahan suhu udara gurun ekstrim terjadi pada luar.

Beberapa struktur yang ditemukan konstruksi-konstruksi masjid juga mempunyai jendela atap dengan epilog keramik. Biasanya keramik epilog ini dibentuk oleh kaum perempuan dan dapat dipindahkan pada malam hari buat aliran udara ke dalam ruang

Kayu-kayu palem yang dijadikan penopang dalam konstruksi bangunan tidak sekedar berfungsi menjadi balok, melainkan penopang tetap bagi pekerja yang setiap tahun memlaster ulang masjid-masjid tadi dengan lumpur kala ferstival trend panas. Kayu palem tersebut pula meminimalkan tegangan beban yg dipicu temperatur ekstrim dan perubahan drastis kelembaban udara. Ciri unik lain masjid lumpur lokal adalah menara acapkali kali diberi penutup ujung spiral menggunakan telur burung unta di atasnya, menyimbolkan kesuburan dan kemurnian.

Proyek Foto Masjid Mali

Proyek fotografi Sebastian dimulai pada 1998. Selama beberapa bulan ia berkelana menurut satu desa ke desa lain dengan sepeda kayuh, menggunakan bantuan navigasi di atas pohon beserta peta berskala 1:200.000. Sebastian sendiri mengaku beruntung, area yang sebagian akbar sulit diakses tersebut tak akan mungkin dimasuki tanpa donasi rakyat setempat yg terkejut mendengar dia sedang mendokumentasikan masjid-masjid lokal milik mereka.

Dari 111 masjid yang ia jepret, ia memilih beberapa foto dan dicetak berukuran 94 x 120 cm untuk dipampang dalam pameran fotografi  Maison Européenne de la Photographie di Paris.

Kemudian dalam Oktober 2001 sampai Maret 2002, Sebastian melanjutkan proyeknya atas donasi dana menurut Aga Khan Trust for Culture. Selain pada format berwarna, Sebastian sengaja selalu membidik objek juga dalam format hitam putih, sebagai akibatnya beliau mudah mempunyai 2 macam koleksi. Kini total dia mempunyai 515 koleksi fotografi masjid penduduk lokal Mali.

Tujuan Sebastian membidik dalam format hitam putih adalah buat membentuk atmosfir terbaru, pada arsitektur kuno warga setempat. Ia meyakini cara itu bisa mengangkat masjid-masjid tersebut pada permukaan. Ia berharap usahanya akan mendorong para ahli melakukan kajian yang sudah seharusnya dilakukan./berbagaisumber/itz

republika

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done